Selasa, 05 Mei 2015

Bocah Besar yang Kecil


Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang anak berumur limabelas tahun bernama Tarania. Ibunya meninggal sesaat setelah melahirkannya. Sementara Ayahnya pergi entah kemana. Alasannya tampak jelas. Ia tampaknya berbeda dari teman-teman sebayanya. Tubuhnya kelewat tinggi, bahkan lebih tinggi dari tiang listrik. Keadaan ini digunakan oleh anak-anak di kampungnya untuk mengejeknya. Tak jarang ia dilempari batu karena dianggap raksasa aneh. Bahkan para orang tua melarang anaknya untuk  bermain dengan Tarania. Akhirnya Tarania tidak punya teman dan terus berdiam diri di dalam rumahnya yang terbuat dari kumpulan batu di huta
                Tahun ini panas melanda seluruh kawasan. Hujan tidak pernah turun dalam beberapa bulan padahal seharusnya ini  adalah musim penghujan. Masyarakat tidak henti-hentinya berdoa untuk kesuburan tanah mereka. Padi-padi berubah warna menjadi coklat lalu kering dan mati. Tanah-tanah persawahan retak, seakan telah terjadi gempa besar . Sumur-sumur kering. Bahkan sungai—yang merupakan sumber air utama di kampung itu—mulai mati.
                Di hutan, Tarania sedang  berada di guanya dan tengah meminum air. Ia juga merasakan hal yang sama. Panas. Setiap beberapa menit ia tak henti-hentinya meminum air yang berasal dari tanah di guanya. Kemudian, dalam keheningan hutan, ia mendengar suara gemeresak daun kering yang diinjak. Telinganya berdiri waspada. Tak pernah ada hewan yang bisa bicara. Dengan sedikit bersembunyi, Tarania mengintip keluar melalui sebuah lubang kecil. Dan disana ia melihat ada dua orang laki-laki tengah bercakap-cakap.
                Pemuda pertama berkata, “Tak pernah seperti ini sebelumnya. Apa yang salah dengan kita?”
                Pemuda lainnya menyahut, “Kita sudah menyumbangkan hewan ternak kita pada Dewa. Apa lagi? Sekarang hewan-hewan itu mati dan kita kehabisan air!”
                “Sungai pun kering. Hutan ini semenyedihkan sungai itu. Aku tidak yakin kita bisa dapat hewan di hutan yang daunnya sudah meranggas.” Mereka berlalu membawa caci maki terhadap alam.
                Tarania terduduk di tanahnya yang lembab, mencoba mencerna masalah teman-teman kampungnya. Kita kehabisan air terngiang-ngiang dalam telinganya. Ia menatap tanah lembab itu. Dengan sekali menekan telapak kaki dengan kuat, mata air bermunculan dan air menghambur keluar seolah air tersebut kepanasan terkurung di bawah tanah. Hewan-hewan memang langka, tetapi air di guanya tercukupi. Tarania pun memutuskan untuk membantu teman-temannya secara diam-diam karena ia masih takut untuk memperlihatkan dirinya. Malam ini juga, pikirnya, malam ini aku akan mengisi kembali sungai itu.
                Keesokan harinya, pagi-pagi sekali bahkan sebelum ayam berkokok, teriakan seorang petani memecah kesunyian dan memaksa orang-orang untuk keluar dari rumah mereka. Di luar berangin. Gemericik air terdengar dari kejauhan. Serta merta mata mereka membelalak mendengar suara yang sangat dirindukan itu. Bersama-sama, mereka berlomba menuju asal suara dan disana, di sebelah petani, air mengalir dengan jernihnya, menciptakan suara-suara khas yang  membuat mereka ingin meminumnya sekarang juga. Seraya mengucapkan syukur, mereka minum, mencuci wajah, mengambil wadah dari rumah lalu menampungnya. Tarania melihat semua itu dengan senyuman. Ia senang bisa membantu teman-temannya meskipun mereka tidak tahu.
                Semua orang akhirnya kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Irigasi di sawah mulai lancar kembali. Hewan-hewan ternak yang tersisa kembali sehat dan berkembang biak dengan cepat. Kampung itu pun kembali subur.
                Seperti kebiasaan sebelumnya, dua orang pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Di tengah-tengah hutan, mereka bertemu dengan kawanan beruang yang sedang berkelahi. Mereka berserobok pandang dengan beruang-beruang itu dan tanpa aba-aba, mereka berlari ketakutan. Dengan panik mereka mencari tempat perlindungan dan menemukan sebuah gua yang sangat besar, mereka akhirnya bersembunyi di balik lekukan batu-batu besar di dalam gua tersebut. Mereka terengah-engah, tak menyadari sosok besar yang mengintip sampai salah satu dari mereka berteriak ketakutan seraya menggengam kapak. Mengayun-ayunkan kapak itu hendak melawan. Sosok besar itupun menampakkan dirinya ketika beruang-beruang itu mulai memasuki gua. Ia menghalau mereka untuk meninggalkan rumahnya. Beruang-beruang tersebut akhirnya pergi setelah melihat Tarania. Keadaan seketika hening. Dua orang pemuda tadi mulai memberanikan diri.
                Pemuda pertama memiringkan kepala. Ia berkata, “Kau bukannya raksasa aneh yang menghilang?”
                Tarania duduk di sebelah mereka. Mereka bergerak menjauh untuk membuat jarak. “Nama saya Tarania. Apa kalian lupa?”
                “Hm, tidak juga,” Pemuda kedua menyahut. “Kau yang meresahkan warga kampung, kan? Kenapa kau masih tinggal di lingkungan kami?”
                Tarania berpikir sejenak. “Saya rasa saya tidak pernah membuat warga resah.”
                “Itu menurutmu. Dan kalau tidak keberatan, kami mau pergi,” tukas pemuda kedua. Lalu ia menambahkan “terima kasih” yang kelihatannya tidak begitu tulus. Mereka lalu berjalan ke mulut gua dan tiba-tiba saja sesuatu yang basah mengenai sepatu kulit mereka. Salah satu dari mereka memekik, tapi yang lainnya langsung menenangkan temannya yang terlihat sama terkejutnya dengan dia. Mereka saling pandang, kemudian menunduk lagi untuk memastikan bahwa air itu memang  ada. Kemudian mereka berlari keluar menuju kampung.
                Tarania terduduk lesu. Ia sudah sangat merindukan seorang teman untuk diajak bermain. Dia pikir dua orang pemuda tadi bisa duduk dengannya dan mengobrol. Tapi sangat jelas bahwa ia membuat mereka ketakutan. Tarania merasa frustasi. Dan satu-satunya obat penangkal untuk itu adalah tidur.
                Entah mimpi entah apa, ia terbangun dengan kepala berat. Suara-suara itu berisik sekali, pikirnya. Ia menyipitkan mata melihat cahaya yang berkelap-kelip di depan gua. Suara orang-orang yang berteriak menyuruhnya keluar. Tarania merasakan alisnya berkerut. Demi Tuhan, mengapa mereka membawa obor? Tarania kemudian mengerti. Mereka ingin memusnahkannya karena tahu ia masih hidup. Dua orang pemuda tadi yang membawa berita. Tarania keluar gua dengan lesu. Ia mulai pasrah.
                “Ternyata kau masih hidup, Raksasa!” Hardik seorang wanita tua. Ia menggoyang-goyangkan tongkatnya menunjuk Tarania. Tarania menunduk, tak tahu harus berkata apa.
                Salah satu pemuda mendekatinya. Sepertinya ia adalah cucu nenek tersebut. “Sudahlah nenek. Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak memakai drama itu?”
                Nenek itu mengerjap sedikit. Merasa malu. “Tapi, tadi....bukannya...”
                Pemuda tersebut menggeleng lambat. “Tadi kami sudah membatalkannya karena kami tahu itu hanya membuang waktu saja. Mungkin nenek lupa.”
                Tarania melihat semuanya dengan mulut menganga. Ia tidak mengerti mengapa mereka tiba-tiba membicarakan drama. Ia masih diam, mengamati wajah-wajah yang tertimpa cahaya api. Sama sekali tak ada kemarahan di wajah mereka. Ada yang memasang wajah sendu, tapi kebanyakan tersenyum ceria. Seketika Tarania terkejut melihat sesuatu menyentuh kakinya. Nenek tadi.
                “Terimakasih atas segala yang kauberikan pada kami,” ia berkata. Lalu orang-orang di belakangnya membungkuk sedikit untuk memberi hormat.
                “Aku...saya tidak mengerti apa yang kalian bicarakan,” jawab Tarania. Lalu seseorang menjelaskan semuanya tapi mata Tarania tertuju pada dua pemuda yang tadi dikejar beruang. Ia melihat mata mereka berbinar dihiasi senyum yang lebar. Kemudian ia menoleh ke arah guanya untuk melihat mata air itu. Jejak kakinya terlihat jelas seolah sudah disiapkan untuk menampung air. Ia mulai mengerti.
                “Awalnya kami kira kaki sebesar itu adalah kaki Dewa kami yang turun tengah malam untuk melihat kami kemudian menyediakan air sungai itu lagi. Tapi ternyata...” Seseorang menggantungkan kalimatnya lalu menggeleng tidak percaya. Ia tersenyum lalu menambahkan, “Ikutlah bersama kami ke kampung. Kami tak tahu bagaimana berterimakasih dengan layak.”
                Tarania tidak percaya. Ia diminta kembali. Seorang wanita paruh baya mendekatinya lalu berkata, “Kau tak tahu betapa besar bantuanmu.” Lalu wanita lainnya menggiring Tarania menuju kampung sambil berceloteh tak henti-henti. “Kau mau apa, sayang? Aku bisa membuatkan roti lapis sebesar rumah untukmu.”
                “...ayam goreng? Aku yakin kau belum makan sejak...”
                “...susu sapi! Ya. Kau akan memperoleh...”
                “...banyak hewan-hewan yang mati. Yang tersisa akan kami berikan pada...”
                Tarania tidak mengucapkan apa-apa selain terimakasih. Ya terimakasih. Ia tidak habis pikir kebaikan yang selama ini ia sembunyikan sudah tercium baunya dan mereka semua sangat menghargai jasanya.
                Di perjalanan menuju kampung, Tarania tidak henti-hentinya mengucap syukur kepada Tuhan. Ia berdiri di tengah-tengah manusia yang bertinggi seperenam dari kakinya, dan ia tidak merasa besar. Ia merasa ukuran tubuhnya sama saja dengan mereka. Fisiknya memang sangat besar namun, jauh di lubuk hati, mereka sama-sama manusia.
                Semakin mendekati kampung, orang-orang semakin ribut meneriakkan maaf mereka. Tarania menerima semuanya dan menegaskan bahwa mereka tidak punya salah. Mendengar itu mereka berkumpul dan memeluk kaki Tarania. Tak ada yang bisa diucapkan. Tak ada yang bisa dilakukan. Tarania menangis untuk pertama kalinya.

WILLIS



 Suatu malam yang dingin dan mendung pada akhir bulan Desember.
            Seorang wanita tua berjalan perlahan ditengah dinginnya malam tahun baru. Ia membawa sebuah keranjang rotan yang dirajut dengan rapi. Bagian atas keranjang tersebut tertutup sebuah kain kumal. Ia melangkah masuk ke sebuah halaman rumah seseorang yang di dalamnya sepertinya sedang mengadakan sebuah pesta. Anehnya, tak ada yang menyadari kehadirannya. Semua orang berkumpul di satu tempat, tengah menyalakan kembang api dan meluncurkan mercon. Wanita tua itu melangkah ke sebuah jendela kamar lalu meletakkan keranjang rotan disana. Ia kemudian membungkuk ke arah keranjang dan membuka sedikit tutupnya. Kucing kecil yang berada di dalam sana mendongak ke arahnya.
            Wanita itu berbisik, “Aku akan kembali secepatnya.”
            Kucing berbelang tiga itu mengangguk perlahan, lalu wanita tua tersebut menghilang secepat kilat.
            Pukul 02.00 dini hari, semua orang bersiap-siap naik ke tempat tidur. Citra sudah akan mematikan lampu kamarnya ketika mendengar suara di sekitar jendela. Ia sudah begitu mengantuk sampai-sampai tidak bisa memusatkan mata. Ia menyibakkan tirai dan melihat seekor kucing kecil sibuk menggaruk-garuk kaca jendela. Kontan matanya membelalak. Ia cepat-cepat membuka jendela dan mengangkat keranjang kucing itu. Ia meletakkan keranjang tersebut di lantai.
            “Kamu datang darimana, sobat?” Tanya Citra, tak mampu menyembunyikan kegirangannya. Ia sudah begitu lama menginginkan hewan peliharaan, khususnya kucing. Selama hidupnya ia selalu berusaha membujuk Ibunya untuk membolehkan seekor kucing berkeliaran di kamarnya atau di rumah ini atau dimana pun. Tapi Ibunya, seperti halnya orang yang alergi terhadap bulu-bulu dan debu, dengan tegas menolak. Dan Citra memang sudah sepantasnya untuk menuruti.
            Tapi kali ini Citra mengangkat kucing itu tinggi-tinggi lalu memeluknya dan mengelus-elus kepalanya. Kucing ini bersih, pikir Citra, jadi pasti ada pemiliknya sebelum akhirnya dibuang dan ajaib sekali bisa sampai di rumah Citra lengkap dengan keranjangnya. Ia memeluk kucing itu sekali lagi.
            Citra akhirnya bergumam, “Gak peduli Mama bilang apa. Sekarang aku punya kamu...” Citra terdiam sejenak, lalu ia melanjutkan, “Willis.” Dan begitulah Citra menimang-nimang Willis layaknya Ibu dan anak. Rasa kantuk Citra hilang. Ia begitu bersyukur sekaligus heran: Willis tidak bersuara.


Tidak ada yang bangun sebelum pukul 12 siang, kecuali Citra. Ia terbangun pada pukul 08.00, begitu bersemangat untuk melihat Willis lagi. Tapi ketika ia membungkuk ke arah keranjang, Willis tidak ada. Ia memanggil-manggil nama Willis, mencari di bawah tempat tidur. Siluetnya pun tidak terlihat. Citra kembali menegakkan tubuhnya dan ketika itulah ia melihat. Ia melihat pintu kamarnya terbuka sedikit. Pikiran Citra langsung berkelana dan tiba pada Ibunya. “Ibu!” Serunya sambil berbisik. Ia lalu cepat-cepat keluar kamar.
            Suasana rumah sangat sepi. Semua pintu kamar tertutup rapat. Di kasur tipis depan tv, kakaknya, Angga, sedang tidur dengan memeluk bantal. Citra berjingkat ke kamar Ibunya. Tiba-tiba saja Citra jadi tidak yakin bahwa Ibunya yang masuk ke kamarnya. Bagaimana pun kunci kamarnya hanya satu.Tapi ia tetap memutuskan untuk hanya sekedar bertanya. Jadi setengah berlari ia menuju kamar Ibunya. Tapi kemudian ia memperlambat langkahnya karena ada suara dari dapur. Karena mengira itu Willis, Citra lantas berjalan perlahan menuju dapur dan benar saja! Willis tengah menjilat-jilat piring bekas ikan bakar tadi malam. Melihat ada sesuatu yang datang, Willis terkejut setengah mati dan tanpa sadar kakinya menyenggol piring kaca tersebut. Tak ada yang bisa menghalangi. Piring itu hancur berantakan dan mengacaukan keheningan di rumah Citra. Tubuh Angga tersentak sedikit. Citra menahan nafas sampai kakaknya tidak bergerak lagi.
“Ssst, jangan ribut, Willis. Kalau ada orang yang tau kamu disini, mereka bakal buang kamu!” Desis Citra seraya mengangkat Willis dari undukan beton dan meletakkannya di sisi yang lain. Dengan sangat perlahan, Citra memungut pecahan piring lalu cepat-cepat membuangnya di tempat sampah sebelah kompor gas. Ia menyapu pecahan yang lebih kecil dan membuangnya di tempat yang sama. Setelah selesai, ia mengendong Willis ke kamarnya.
Citra menutup pintu di belakangnya. “Kamu lapar, ya?” Tanyanya pada Willis. Willis hanya mendongak menatap Citra. Citra kembali membuka pintu dan menggoyang-goyangkan jarinya pada Willis untuk jangan coba-coba keluar kamar lagi, walaupun ia tahu bahwa Willis tidak mengerti sedikit pun ucapannya.


Untuk pertama kalinya dalam setahun, keluarga Citra menyantap sarapan pada pukul satu siang. Citra makan lambat-lambat padahal ia lapar sekali. Ia sengaja membiarkan semua orang selesai sebelum dia supaya ia bisa mengambil sedikit makanan untuk makan siang Willis. Yang membuat Citra cemas adalah Ibu menungguinya, tidak seperti biasa. Citra makan sambil menunduk, berharap sekali sesuatu terjadi sehingga Ibunya pergi.
            “Selesaikan cepat makanmu, Ra!” Perintah Ibu dengan nada biasa-biasa saja sudah membuat jantung Citra melompat.
            “Ma, mama istirahat aja. Biar aku yang beresin semua,” ujar Citra sesantai mungkin.
            Ibunya tersenyum kecil seraya menumpuk piring-piring kotor. “Biar Mama aja. Kamu mendingan belajar”
            Dengan terpaksa, Citra menghabiskan makanannya dan ketika Ibunya pergi ke dapur, ia mengambil sedikit nasi panas dan ikan goreng setengah utuh kemudian menaruhnya di lipatan baju. Ia bergegas meninggalkan meja makan ketika Ibunya kembali. Citra duduk lagi, memikirkan cara untuk mengelabui Ibu. Kemudian ia mendapatkannya.
            “Kamu kenapa?”  Tanya Ibu yang melihat Citra memegang perutnya yang menggelembung sambil meringis. Citra menampilkan ekspresi kesakitan dan berkata, “Sakit perut, Ma. Aku ke kamar dulu, ya.” Kemudian ia berlalu.
            Citra memperhatikan Willis makan. Willis hanya makan daging ikan dan nasi, tidak mengunyah-ngunyah tulang atau menggerogoti kepala ikan seperti kucing yang pernah dilihatnya. Setelah makanannya habis, Willis menjauhi papan ujian tempat menaruh makanannya itu.
            Citra mengangkat tulang ikan di depan Willis. “Kamu gak mau makan ini?” Katanya seraya menggoyang-goyangkan tulang tersebut untuk membujuk Willis. Willis yang kekenyangan menggelengkan kepala layaknya manusia. Citra membelalak. Ia menjatuhkan tulang yang tadi dipegangnya dan menjauh sedikit. Ia tidak menyangka Willis mengerti kata-katanya. Kemudian, dengan mata dan telinganya sendiri, Citra menyaksikan Willis bersendawa. Kaki-kaki kecil bercakar itu menutupi mulutnya setelah selesai. Citra menggeleng-geleng dan naik ke tempat tidur. Matanya sebundar bola pingpong.
            “Kamu...kamu bisa....” Dengan terbata-bata Citra berusaha berbicara namun ia duduk terpaku. Terdengar suara Ibu di pintu.
            “Citra?”
            “Se, sebentar, Ma!” Sahut Citra. Ia segera membereskan sisa-sisa makanan Willis. Kemudian ia mendorong Willis yang terkantuk-kantuk ke bawah ranjang. Citra bergegas mengambil handphone yang tergeletak di atas meja belajar. Akhirnya, ia membuka pintu.
            “Kamu ngomong sama siapa?” Tanya Ibunya yang kini sudah berdiri di tengah kamar Citra.
            Citra pura-pura menelepon. Ia berkata ke hp-nya “sebentar ya” dan dengan akting yang hampir sempurna ia menutup hp-nya dengan salah satu tangan. “Ngobrol sama temen, Ma,” jawab Citra.
            Ibunya mengangguk, lalu menyerahkan sebotol obat sakit perut pada Citra. Belum sempat ia bicara apapun, sesuatu menggelitik hidungnya dan ia bersin dua kali.
            “Ya ampun, Citraaa! Sudah Mama bilang kamarmu harus tiap hari dibersihkan!” Jerit Ibunya dengan hidung merah. Citra berdoa supaya Ibunya tidak menemukan Willis. “Iya, Ma. Nanti aku bersihkan semuanya!” Dan alangkah leganya ia ketika melihat Ibunya berderap pergi dengan jengkel. Citra cepat-cepat menutup pintu.


Citra menunggu Willis bangun sampai sore hari. Selama itu pula ia mengutak-atik jam tangannya yang rusak. Jam model laki-laki itu diberikan oleh Ibunya ketika ia berulang tahun yang ke-15. Namun, karena kesalahan pemakaian atau entah apa, jam itu tak lebih dari sebuah layar kecil, kait, dan rantai emas. Citra terlalu takut untuk memberitahu Ibunya tentang kerusakan jam tersebut, dan jelas-jelas tidak berani minta yang baru. Sudah sebulan ini ia berusaha memperbaikinya, tapi sepertinya hal itu sia-sia.
            Citra menoleh ketika ia melihat Willis menggerak-gerakkan matanya. Citra sudah berpikir dalam-dalam. Karena Willis mengerti apa pun yang diucapkan Citra, Citra berniat untuk meminta informasi tentang siapa Willis sebenarnya. Citra benar-benar duduk tegak melihat Willis sudah benar-benar terjaga.
            “Willis,” Citra menjilat bibirnya. “Kamu ngerti apa yang aku omongin?”
            Willis mengangguk kebas. Citra menganga, lalu kembali mengatupkan bibirnya.
            Ia berkata, “Kamu pasti bukan kucing! Ya, kan?”
            Willis menatap Citra, tapi tidak mengatakan apa-apa. Citra menuding Willis, menahan suaranya supaya tidak terdengar seperti teriakan. “Aku gak mau omong kosong, Willis. Tunjukkan wujud aslimu!” Seketika kilat muncul sesaat diiringi dengan guntur yang bergemuruh. Citra mulai khawatir. Ia membayangkan adegan-adegan di film yang menampilkan seseorang mendapat masalah karena berhadapan dengan suatu makhluk yang diperlakukan buruk. Citra bergidik. Dan hujan pun turun dengan lebatnya.
            Citra mulai waspada melihat Willis berjalan menuju jendela kamarnya. Ia memberanikan diri untuk ikut melihat sesuatu dan disana, di halaman rumahnya yang diguyur hujan deras, ia melihat seseorang berjalan dengan sangat perlahan menuju rumahnya. Tubuhnya terbungkuk-bungkuk. Ia memegang payung dengan tangan gemetar karena angin cukup kencang untuk menerbangkannya. Citra berpikir pastilah ia peminta-minta. Tapi kemudian ia menoleh ketika Willis mengetuk-ngetuk kaca jendela dengan cakarnya, dan sangat ajaib, wanita tua itu menoleh ke arah Willis dan tersenyum padahal suara hujan yang deras sudah terasa menulikan telinga.
            Ketika akhirnya wanita tua itu sudah sampai di teras, Willis melesat ke arah pintu. Ia berdiri di atas dua kaki dan tubuhnya perlahan-lahan menjadi tinggi, hampir setinggi Citra. Kemudian ia memutar kenop pintu, menjadi kucing kecil lagi, lalu berlari menuju pintu depan. Citra yang melihat semua itu sangat ketakutan. Ia menempelkan dirinya ke tembok. Semuanya mulai masuk akal. Willis tidak mengeong sejak Citra menemukannya; pintu kamar yang terbuka; makanan yang tersisa; gelengan dan anggukan kepala; sendawa dengan menutup mulut. Citra mulai mengerti. Ia pun bergegas keluar untuk melihat apa yang terjadi.
            Ibu sedang berdiri di ambang pintu depan. Citra mendekat dan melihat seorang wanita tua dengan kucing di gendongannya. Ibu melirik ke arah Citra dan bagaikan magnet, mata mereka bertemu. Ada seringai menyeramkan di wajah mulus Ibunya. Hidungnya yang semerah bunga mawar mulai kembang-kempis.
            “Citra,” katanya lambat-lambat. “Coba kamu jelaskan kenapa bisa ada kucing keluar dari kamarmu?”
            Citra tergagap mencari kata-kata. “Ma...ma..aku..aku..”
            “Kucing ini peliharaan saya. Saya yang menitipkannya pada anak Anda. Saya harap Anda tidak keberatan.”
            Mereka terdiam. Wanita tua itu yang berbicara. Ibu bersiap akan bersin lagi tapi sebelum itu terjadi wanita tersebut menyemprotkan suatu cairan ke arah Ibu. Ia tidak jadi bersin.
            “Apa itu?” Tanya Citra.
            “Ini salah satu ramuan saya. Ibumu tidak akan alergi lagi terhadap hewan apa pun.”
            Mereka masih diam. Pikiran Citra dan Ibunya hampir bertemu. Mereka memikirkan hal yang sama: Makhluk ini bukan manusia.
            Wanita tersebut berdeham. “Saya rasa saya harus pergi sekarang... Terimakasih sudah merawat Willis,” katanya pada Citra. Lalu Wanita tua itu berbalik untuk pergi tapi Citra mencegatnya. Ia bertanya soal Willis.
            “Oh dia,” wanita itu terkekeh. “Kucing ini memang bisu. Sengaja saya membuatnya begitu supaya orang-orang yang kebagiannya merawatnya tidak kesusahan. Dia juga saya buat setengah manusia supaya bisa membantu saya.” Kemudian wanita itu berbisik pada Willis. Ia menurunkannya dan Willis berjalan mendekati Citra. Ia memegang jam tangan Citra yang rusak. Citra mengambilnya. Jam itu menyala.
            “Bagaimana bisa ada di kamu?” Citra terbelalak. Tapi Willis sudah kembali ke gendongan majikannya dan mereka pun berbalik pergi. Dalam derasnya hujan, Citra melihat Willis melambaikan tangan padanya.*****

Epilog

“Pilih satu aja, ya, Ra!”  Ibunya mengingatkan.
            “Sip!” Jawab Citra.
            Hari itu Minggu, jadi Ibu membawa Citra ke toko hewan peliharaan untuk membelikannya seekor kucing. Citra girang luar biasa. Sudah berpuluh-puluh menit ia mondar-mandir di antara keranjang-keranjang besi yang memisahkannya dengan kucing-kucing terawat itu.
            Citra berhenti pada sebuah keranjang yang tidak terlalu besar. Di dalamnya kucing berbelang tiga—putih, hitam, kuning—menarik perhatiannya. Ia mendekat ke arah keranjang dan membelai kucing mungil tersebut. Ia merasakan sentakan kerinduan. Sudah seminggu berlalu sejak Willis pergi.
            Citra memutuskan untuk membeli kucing tersebut. Tapi Ibunya mengerutkan dahi.
            Ibu berkata, “Masih banyak yang lebih bagus daripada ini, Citra.”
            Citra merajuk seperti anak kecil. “Tapi aku mau yang ini, Ma.” Ibu hanya mendesah lalu berjalan ke kasir. Mereka pun pulang.
            Di rumah, Citra langsung mengajak peliharaan barunya masuk ke kamar. Ia mulai memikirkan sebuah nama.
            “Bagaimana kalau Willis?” Tanya Citra pada kucing itu. “Mmm, kamu mengingatkan aku sama kucingku dulu. Dia mirip kamu.” Citra menjawil hidung kecil Willis. Lalu ia memeluk Willis, merasa bersyukur memilikinya sekarang.
            “Willis nama yang bagus,” sebuah suara berkata. Mata Citra membelalak, jantungnya berdegup. Ia melepas rangkulan tangannya pada Willis. Citra tiba-tiba merasa pening. Ia berkata, “Kamu bisa bicara?”
            Dengan santai Willis mengangguk. Citra sudah hampir menangis. Ia berteriak, “Maamaaaa!!”


TAMAT