Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang anak berumur limabelas tahun bernama Tarania. Ibunya meninggal sesaat setelah melahirkannya. Sementara Ayahnya pergi entah kemana. Alasannya tampak jelas. Ia tampaknya berbeda dari teman-teman sebayanya. Tubuhnya kelewat tinggi, bahkan lebih tinggi dari tiang listrik. Keadaan ini digunakan oleh anak-anak di kampungnya untuk mengejeknya. Tak jarang ia dilempari batu karena dianggap raksasa aneh. Bahkan para orang tua melarang anaknya untuk bermain dengan Tarania. Akhirnya Tarania tidak punya teman dan terus berdiam diri di dalam rumahnya yang terbuat dari kumpulan batu di huta
Tahun
ini panas melanda seluruh kawasan. Hujan tidak pernah turun dalam beberapa
bulan padahal seharusnya ini adalah
musim penghujan. Masyarakat tidak henti-hentinya berdoa untuk kesuburan tanah
mereka. Padi-padi berubah warna menjadi coklat lalu kering dan mati.
Tanah-tanah persawahan retak, seakan telah terjadi gempa besar . Sumur-sumur
kering. Bahkan sungai—yang merupakan sumber air utama di kampung itu—mulai
mati.
Di
hutan, Tarania sedang berada di guanya
dan tengah meminum air. Ia juga merasakan hal yang sama. Panas. Setiap beberapa
menit ia tak henti-hentinya meminum air yang berasal dari tanah di guanya.
Kemudian, dalam keheningan hutan, ia mendengar suara gemeresak daun kering yang
diinjak. Telinganya berdiri waspada. Tak pernah ada hewan yang bisa bicara.
Dengan sedikit bersembunyi, Tarania mengintip keluar melalui sebuah lubang
kecil. Dan disana ia melihat ada dua orang laki-laki tengah bercakap-cakap.
Pemuda
pertama berkata, “Tak pernah seperti ini sebelumnya. Apa yang salah dengan
kita?”
Pemuda
lainnya menyahut, “Kita sudah menyumbangkan hewan ternak kita pada Dewa. Apa
lagi? Sekarang hewan-hewan itu mati dan kita kehabisan air!”
“Sungai
pun kering. Hutan ini semenyedihkan sungai itu. Aku tidak yakin kita bisa dapat
hewan di hutan yang daunnya sudah meranggas.” Mereka berlalu membawa caci maki
terhadap alam.
Tarania
terduduk di tanahnya yang lembab, mencoba mencerna masalah teman-teman
kampungnya. Kita kehabisan air
terngiang-ngiang dalam telinganya. Ia menatap tanah lembab itu. Dengan sekali
menekan telapak kaki dengan kuat, mata air bermunculan dan air menghambur
keluar seolah air tersebut kepanasan terkurung di bawah tanah. Hewan-hewan
memang langka, tetapi air di guanya tercukupi. Tarania pun memutuskan untuk membantu
teman-temannya secara diam-diam karena ia masih takut untuk memperlihatkan
dirinya. Malam ini juga, pikirnya, malam ini aku akan mengisi kembali sungai
itu.
Keesokan
harinya, pagi-pagi sekali bahkan sebelum ayam berkokok, teriakan seorang petani
memecah kesunyian dan memaksa orang-orang untuk keluar dari rumah mereka. Di
luar berangin. Gemericik air terdengar dari kejauhan. Serta merta mata mereka
membelalak mendengar suara yang sangat dirindukan itu. Bersama-sama, mereka
berlomba menuju asal suara dan disana, di sebelah petani, air mengalir dengan
jernihnya, menciptakan suara-suara khas yang
membuat mereka ingin meminumnya sekarang juga. Seraya mengucapkan
syukur, mereka minum, mencuci wajah, mengambil wadah dari rumah lalu
menampungnya. Tarania melihat semua itu dengan senyuman. Ia senang bisa
membantu teman-temannya meskipun mereka tidak tahu.
Semua
orang akhirnya kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Irigasi di sawah
mulai lancar kembali. Hewan-hewan ternak yang tersisa kembali sehat dan
berkembang biak dengan cepat. Kampung itu pun kembali subur.
Seperti
kebiasaan sebelumnya, dua orang pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Di
tengah-tengah hutan, mereka bertemu dengan kawanan beruang yang sedang
berkelahi. Mereka berserobok pandang dengan beruang-beruang itu dan tanpa
aba-aba, mereka berlari ketakutan. Dengan panik mereka mencari tempat
perlindungan dan menemukan sebuah gua yang sangat besar, mereka akhirnya
bersembunyi di balik lekukan batu-batu besar di dalam gua tersebut. Mereka terengah-engah,
tak menyadari sosok besar yang mengintip sampai salah satu dari mereka
berteriak ketakutan seraya menggengam kapak. Mengayun-ayunkan kapak itu hendak
melawan. Sosok besar itupun menampakkan dirinya ketika beruang-beruang itu
mulai memasuki gua. Ia menghalau mereka untuk meninggalkan rumahnya.
Beruang-beruang tersebut akhirnya pergi setelah melihat Tarania. Keadaan
seketika hening. Dua orang pemuda tadi mulai memberanikan diri.
Pemuda
pertama memiringkan kepala. Ia berkata, “Kau bukannya raksasa aneh yang
menghilang?”
Tarania
duduk di sebelah mereka. Mereka bergerak menjauh untuk membuat jarak. “Nama
saya Tarania. Apa kalian lupa?”
“Hm,
tidak juga,” Pemuda kedua menyahut. “Kau yang meresahkan warga kampung, kan?
Kenapa kau masih tinggal di lingkungan kami?”
Tarania
berpikir sejenak. “Saya rasa saya tidak pernah membuat warga resah.”
“Itu
menurutmu. Dan kalau tidak keberatan, kami mau pergi,” tukas pemuda kedua. Lalu
ia menambahkan “terima kasih” yang kelihatannya tidak begitu tulus. Mereka lalu
berjalan ke mulut gua dan tiba-tiba saja sesuatu yang basah mengenai sepatu
kulit mereka. Salah satu dari mereka memekik, tapi yang lainnya langsung
menenangkan temannya yang terlihat sama terkejutnya dengan dia. Mereka saling
pandang, kemudian menunduk lagi untuk memastikan bahwa air itu memang ada. Kemudian mereka berlari keluar menuju
kampung.
Tarania
terduduk lesu. Ia sudah sangat merindukan seorang teman untuk diajak bermain.
Dia pikir dua orang pemuda tadi bisa duduk dengannya dan mengobrol. Tapi sangat
jelas bahwa ia membuat mereka ketakutan. Tarania merasa frustasi. Dan
satu-satunya obat penangkal untuk itu adalah tidur.
Entah
mimpi entah apa, ia terbangun dengan kepala berat. Suara-suara itu berisik
sekali, pikirnya. Ia menyipitkan mata melihat cahaya yang berkelap-kelip di
depan gua. Suara orang-orang yang berteriak menyuruhnya keluar. Tarania
merasakan alisnya berkerut. Demi Tuhan, mengapa mereka membawa obor? Tarania
kemudian mengerti. Mereka ingin memusnahkannya karena tahu ia masih hidup. Dua
orang pemuda tadi yang membawa berita. Tarania keluar gua dengan lesu. Ia mulai
pasrah.
“Ternyata
kau masih hidup, Raksasa!” Hardik seorang wanita tua. Ia menggoyang-goyangkan
tongkatnya menunjuk Tarania. Tarania menunduk, tak tahu harus berkata apa.
Salah
satu pemuda mendekatinya. Sepertinya ia adalah cucu nenek tersebut. “Sudahlah
nenek. Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak memakai drama itu?”
Nenek
itu mengerjap sedikit. Merasa malu. “Tapi, tadi....bukannya...”
Pemuda
tersebut menggeleng lambat. “Tadi kami sudah membatalkannya karena kami tahu
itu hanya membuang waktu saja. Mungkin nenek lupa.”
Tarania
melihat semuanya dengan mulut menganga. Ia tidak mengerti mengapa mereka
tiba-tiba membicarakan drama. Ia masih diam, mengamati wajah-wajah yang
tertimpa cahaya api. Sama sekali tak ada kemarahan di wajah mereka. Ada yang
memasang wajah sendu, tapi kebanyakan tersenyum ceria. Seketika Tarania
terkejut melihat sesuatu menyentuh kakinya. Nenek tadi.
“Terimakasih
atas segala yang kauberikan pada kami,” ia berkata. Lalu orang-orang di
belakangnya membungkuk sedikit untuk memberi hormat.
“Aku...saya
tidak mengerti apa yang kalian bicarakan,” jawab Tarania. Lalu seseorang
menjelaskan semuanya tapi mata Tarania tertuju pada dua pemuda yang tadi dikejar
beruang. Ia melihat mata mereka berbinar dihiasi senyum yang lebar. Kemudian ia
menoleh ke arah guanya untuk melihat mata air itu. Jejak kakinya terlihat jelas
seolah sudah disiapkan untuk menampung air. Ia mulai mengerti.
“Awalnya
kami kira kaki sebesar itu adalah kaki Dewa kami yang turun tengah malam untuk
melihat kami kemudian menyediakan air sungai itu lagi. Tapi ternyata...”
Seseorang menggantungkan kalimatnya lalu menggeleng tidak percaya. Ia tersenyum
lalu menambahkan, “Ikutlah bersama kami ke kampung. Kami tak tahu bagaimana
berterimakasih dengan layak.”
Tarania
tidak percaya. Ia diminta kembali.
Seorang wanita paruh baya mendekatinya lalu berkata, “Kau tak tahu betapa besar
bantuanmu.” Lalu wanita lainnya menggiring Tarania menuju kampung sambil
berceloteh tak henti-henti. “Kau mau apa, sayang? Aku bisa membuatkan roti
lapis sebesar rumah untukmu.”
“...ayam
goreng? Aku yakin kau belum makan sejak...”
“...susu
sapi! Ya. Kau akan memperoleh...”
“...banyak
hewan-hewan yang mati. Yang tersisa akan kami berikan pada...”
Tarania
tidak mengucapkan apa-apa selain terimakasih. Ya terimakasih. Ia tidak habis
pikir kebaikan yang selama ini ia sembunyikan sudah tercium baunya dan mereka
semua sangat menghargai jasanya.
Di
perjalanan menuju kampung, Tarania tidak henti-hentinya mengucap syukur kepada
Tuhan. Ia berdiri di tengah-tengah manusia yang bertinggi seperenam dari
kakinya, dan ia tidak merasa besar. Ia merasa ukuran tubuhnya sama saja dengan
mereka. Fisiknya memang sangat besar namun, jauh di lubuk hati, mereka
sama-sama manusia.
Semakin
mendekati kampung, orang-orang semakin ribut meneriakkan maaf mereka. Tarania
menerima semuanya dan menegaskan bahwa mereka tidak punya salah. Mendengar itu
mereka berkumpul dan memeluk kaki Tarania. Tak ada yang bisa diucapkan. Tak ada
yang bisa dilakukan. Tarania menangis untuk pertama kalinya.